Sabtu, 06 Desember 2014

Malam MInggu

Malam minggu sendu sambil ditemani secangkir kopi dengan lantunan Kiai Kanjeng lengkaplah waktu untuk bersandar, berpikir sejenak, berfilsafat. Sowan ke salah satu portal berita online, ada berita terkait Anies Baswedan.
Ia mengatakan bahwa, “Pendidik utama bagi anak usia SD dan SMP adalah orangtua. Oleh karena itu, pendidikan karakter tersentral di rumah. Sementara itu, guru-guru hingga kepala sekolah berperan ketika si anak ada di sekolah.”
Sejak kecil anak “dipaksakan” untuk sekolah. Tanpa ada perjanjian hitam diatas putih, sepakat-menyepakat, ataupun usaha untuk bermusyawarah-sesuai sila 4…- kita begitu saja dilepas oleh orang tua untuk dididik, dibina dan diajarkan “ilmu” oleh lembaga pendidikan. Memang benar orang tua secara etimologis, ada di rumah, sekolah, les-lesan, maupun tukang sol biasa lewat depan rumah. Namun siapakah sebenarnya orang tua yang selayaknya paling dominan dalam kehidupan kita?
Orang tuamu yang menemanimu dari bentuk zygot sampai kamu membaca tulisanku ini
Ketika di pondok, saya belajar bahwa “ Amal yang tak pernah putus terdapat tiga perkara: amal jariyah, ilmu bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tua”. Sejatinya jika orang tua cerdas, maka ia pasti akan investasi akhirat dengan membimbing anaknya. Bilamana anak tersebut memiliki ilmu dan disalurkan ke sesama yang lain, bayangkan betapa surplus pahalamu? (berpikir kapitalis). Bilamana anakmu sholeh dan mendoakan kau sebagai orang tua, bayangkan mungkin itulah wasiat terbaik untuk meringankan siksa kubur.
Apakah ketika lahir kamu langsung tahu siapa dirimu?
Apakah ketika lahir kamu langsung tahu siapa orang tuamu?
Apakah ketika lahir kamu langsung tahu siapa nenek moyangmu?
……???
Dengan hadirnya orang tua sejatinya kita mengetahui siapa diri kita. Karena rusaknya zaman ini disebabkan manusia tidak tahu siap dirinya, tidak mengerti hakikat ia dilahirkan. Maka timbulah suatu bentuk turbulensi, distorsi berkepanjangan, menyeluruh dan masif. Outputnya (mohon maaf) seperti diri kita.
Realita hari ini orang tua kita lebih percaya guru untuk mengajarkan ilmu akademik, lebih percaya ustad untuk mengajarkan ilmu agama, lebih percaya rewang untuk mengajarkan cara kencing berdiri. Minimya andil, kontribusi orang tua memang tidak membabi-buta kita salahkan ke subyek individu, bisa jadi dari faktor keniatan asuhan, lingkungan, sampai tuntutan pekerjaan. Memang jangan menyalahkan…
Anies Baswedan melanjutkan, “Karakter tidak bisa diajarkan lewat lisan semata dan tulisan, tetapi dengan teladan. Metodenya kira-kira seperti itu. Caranya kita diskusikan lagi.”
Saya berharap usaha itu ada, semoga tidak sebatas utopia. Dan semoga sebagai orang tua kelak, tidak menjilat ludah sendiri ataupun ludah Bang Anies.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar