Minggu, 21 Desember 2014

kegelisahan,

Sendiri aku dalam kegelisahan,
meratapi kehidupan yang tak menentu,
kadang bersedih dan terkadang berbahagia,
namun kini kesedihan dan kegelisahan singgap di hadapanku,
terpaku dalam problema hidup dan ketakutan di masa yang akan datang yang tak menentu
aku mencoba tegar mnghadapi semua itu,namun apa daya ku,,
aku yang lemah,
aku yang tak berdaya,
aq bersimpu d’hadapan-NYA, Memohon agar Tuhan menghilangkan rasa gelisah yang selalu singgap di hadapanku,
tercurahkan do’a2 dan harapan” qu yang tinggi..
Hanya dengan usaha dan Doa-lah yang selalu aq ucapkan dikala semua berjalan walau aq tak tahu..

Sabtu, 20 Desember 2014

Kau Masih Hutan Raya


Padahal beratus ruas jalan yang terhubung satu sama lain di depan kanan kiri dan belakang.
Tapi tak ubahnya semua tampak seperti buntu, tak satupun titik persumbuan jalan-jalan itu yang dapat menjadi tempat bertumpu dan dapat menjadi penanda persinggahan walau sesaat.
Semuanya tampak gelap dan buntu, tak ubahnya tersesat di hutan raya. Ya hutan raya, yang disesaki pohon2 besar yang mewartakan keangkuhan dan penolakan. Yang dipenuhi semak-semak belukar dengan duri-durimya yang tajam menyayat-nyayat hati.
Tak ada gelagat yang bisa menjadi asa untuk sekadar memantik api pada ranting-ranting kering yang dibahasi hujan. Tak ada sejumput harapanpun atas sejengkal tanah untuk mendirikan tenda tempat berteduh.
Semua makhluk binatang dan serangga hutan menunjukkan sikap garang siap menerkam, memangsa dan mengkuliti tubuh gersang menggigil dan ruh sunyi.
Kau benar-benar masih bersifat Hutan raya. Hingga akhirnya percik cahaya kilat halilintar memandu ke arah muasal pulang.

Sabtu, 06 Desember 2014

Diriku

ketika aku jauh dari siapapun di peradaban ini,
bulan, bintang, dan maksud hati kecil yg mulai berkumandang,
seperti topeng dan salam permintaan,
butiran air itu jatuh tanpa salah,
nurani yg mulai kosong
serta bagian hitam indra penglihatan yg mulai rabun tanpa maksud,
memberiku tanya akankah telapakku masih bisa merasakan hangatnya beribu untaian maaf, masihkah senyum ihlas itu dapat dinikmati wajahku,
haruskah aku mempercayai isarat gagak hitam dikegelapan waktu itu akan hadirnya murka untukku,
lantas apa salah tak terdugaku, apa salah yg tak aku ketahui atas diriku,
lantas apa salah pelupuk kesedihan hingga ia harus selalu mendampingi sang perasa yg mulai mati oleh gumpalan kebencian yg berjalan beriringan dg mulut tak bertanggung jawab,
aku tau tuhan bukan temanku waktu itu,
aku tau waktu bukan tujuanku, namun, selama matamu dan mataku belum bertatapan hingga mereka saling mengenal, maka maaf untukku tak usah kau beri...". . ."...